Sukses Joni Agung & Double T. : Mungkin Alam Baru Merespons

J Agung
Joni Agung & Double T bersama produser sekaligus additional player, Bagus Mantra. Dari kiri ke kanan : Bagus Mantra, D’ Alit, Mayun, Gung Joni, Tilem, Rodi, dan Sandi

GRUP band Bali manakah saat ini yang secara konstan tiap kali pentas mampu mendatangkan ribuan penonton, bahkan mengajak mereka menyanyi dan bergoyang bersama? Tidak diragukan lagi, mereka adalah Joni Agung & Double T yang baru saja merilis album ke-6, “Cinta dan Kasih Sayang”. Bukan hanya perkara pentas yang disaksikan ribuan penonton, jadwal tampil mereka dalam sebulan juga terbilang padat. Padahal mereka tergolong grup lama yang secara usia sudah tidak muda lagi, namun masih enerjik di atas panggung.

Fakta yang menarik, awalnya grup yang biasa “ngamen”, tampil regular di tempat hiburan di seputaran Sanur dan Legian ini mulai terjun ke rekaman lagu berbahasa Bali sejak 2004. Terbilang cukup sukses, mereka sudah merekam album “Pocol” (2005), “Pul Si No Ge” (2006), “Melalung” (2007) dan “Perbedaan Itu Indah” (2014). Namun demikian titik balik bagi Joni Agung & Double T justru baru terlihat dalam dua tahun terakhir, khususnya setelah booming album “Persaudaraan Tanpa Batas” yang dirilis awal 2017 lalu. Album inilah yang seperti membangkitkan, melambungkan grup reggae berbahasa Bali ini sebagai bintang panggung yang laris manis tiada henti. Saat ini, mereka masih eksis dengan formasi Joni Agung (lead vocal), Mayun (keyboard, vokal latar), D’ Alit (gitar, vokal latar), Tilem (bass), Rodi (drum), dan Sandi (biola,terumpet).

Bicara soal perjalanan panjang, redup redam Joni Agung & Double T di blantika musik, Gung Joni sebagai pentolan grup ini hanya tersenyum. “Setelah memutuskan untuk mengurangi ngamen di bar, kami fokus untuk berkarir di industri musik. Awal yang sangat melelahkan kami lalui dengan senang hati, dan kami terus berusaha memperkenalkan karya ke masyarakat. Ya, istilahnya jemput panggung. Ada yang suka reggae kami, ada yang hanya duduk-dudul acuh sampai cuek meninggalkan kami, tapi semua itu tetap kami lalui dengan senang hati,” ujarnya.

Jika belakangan Joni Agung & Double T makin banyak penggemarnya, dan justru baru dalam dua tahun terakhir ini mereka jauh lebih dikenal luas dibandingkan awal tahun 2000-an, bagi Gung Joni tentu ini hal yang membanggakan. “Senang hati saya penggemar menggeliat, mungkin alam baru merespon,” tambahnya.

Meski demikian, Gung Joni mengaku tidak mau tinggi hati atau malah lupa daratan atas apa yang tengah diraih saat ini. Baginya sukses itu sangat relatif, ia sendiri menganggap masih bisa terus berkarya saja sudah merupakan satu kesuksesan.

Jika ada yang memandang belakangan ada perbedaan cukup mendasar dari karya Joni Agung & Double T dibandingkan album terdahulu (terutama album 1 dan 2), di mana album belakangan lebih banyak mengangkat kritik sosial juga bersentuhan dengan nuansa spiritual, Gung Joni mempersilakan penggemar merasakan dan menilai sendiri. Yang jelas tak ada perubahan warna yang signifikan dari album ke album. Kesan beda itu muncul mungkin karena sejak album ke-5, mereka mengajak additional player (yang tahun ini resmi jadi personel) yang mengisi bagian ualat tiup dan gesek.

Tak dimungkiri, usia personelnya boleh kian menua, namun semangat dalam berkarya masih tetap tinggi. Justru makin tua, semangat makin bertambah. Selain itu kekompakan juga kian terasa di antara personel dan tim panggung. Ketika ditanya apa rahasia tetap kompak hingga saat ini, Gung Joni mengatakan sederhana saja. “Menyama adung dan kumpul selalu saling menghormati,” ujarnya sembari menyatakan ingin tetap berkarya sampai tua dan musik mereka bisa dikenal lebih luas lagi.

Meskipun sudah dianggap sebagai senior, panutan, Gung Joni sendiri tak mau sesumbar memberikan kritik dan saran, masukan untuk band-band baru. Termasuk bagaimana seharusnya satu band berkarya, menjaga penggemar, dan mempertahankan kekompakan, Gung Joni mengelak tak mau berkomentar.

“Ah, nanti kesannya menggurui. Kalau mereka mau datang dan tanya-tanya, saya pasti akan berbagi,” pungkasnya. (231)

About the author