
SATU lagi pertunjukan seni spektakuler digelar di pantai Padanggalak, Kesiman, Denpasar, Sabtu 22 November. Bertajuk “Plays on The Sea : persembahan yang tertunda, sang Baruna menolak kehancuran”, acara akan diisi pementasan musik, tari, dan kreativitas seni lainnya dari sore hingga menjelang tengah malam. Menariknya, acara yang digagas Antida Soundgarden dan didukung sejumlah komunitas seni ini akan menampilkan panggung terapung di atas air, di pinggir pantai.
Sederetan musisi pengisi acara antara lain, The Ripper, BMTC, Garden Grove, Sound of Mine, Unb’rocken, Parau, The Hydrant, Ganjil, Nymphea, Devildice, serta Barok n’ Friends. Suguhan lainnya, monolog “Rahim” oleh Cok Sawitri, tarian dari Ninus & Ary, video maping oleh Koko Saja dan Adit, gender Bhumi Bajra yang akan mengalun selama jeda, musik tradisional kontemporer oleh Dewa Alit ” Salukat” yang memainkan memainkan 7 gong bertema “Tanah Sedang Bicara”, serta musik tradisional spektakuler oleh Yudane Wrdhi Swaram. Sebagai penutup, akan tampil angklung puri Grenceng yang akan mengalunkan “nada kematian”. Semuanya akan dikemas sedemikian rupa sebagai satu art event yang memang spektakuler.
Menurut Gung Anom dari Antida Soundgarden, ide membuat pertunjukan di panggung terapung sebetulnya sudah ada ketika akan digelarnya Bali Tolak Reklamasi Art Event di Padanggalak, 19 Oktober lalu. Awalnya, acara itu dikonsep sederhana untuk mengadakan penolakan terhadap rencana reklamasai Teluk Benoa.
“Setelah bertemu dengan Yoka Sara , ide yang sederhana itu menjadi rumit dan sangat menarik utk dijadikan torehan sejarah orang Bali yang tidak mau dibohongi dengan kekuatan uang, dan alam akan diporakporandakan dengan pengurugan lahan seluas 700an hektar. Di sinilah saya dan Yoka menjalin hubungan kreatif dua sisi, hingga muncul ide Ide awal menciptakan panggung melayang dan bergerak, area piknik dan panggung terapung,” papar Gung Anom.
Kerana kehabisan waktu untuk membuat panggung bergerak, akhirnya hanya terwujud setengahnya saja yaitu panggung bambu. Sedianya, bambu itu ada dua sisi dan akan bergerak ketika tidak ada pertunjukan dan akan menyatu ketika ada performance. “Nah, panggung yang sama sekali tidak bisa kita wujudkan adalah panggung terapung di atas laut karena waktunya tidak pas dan kondisi air sangat tinggi. Selain itu angin kencang sekali, jadi saya dan Yoka memutuskan tidak terjadi hari itu,” tambah Gung Anom.
Untuk “menuntaskan” kekurangan itu, Gung Anom dan Yoka bertemu lagi untuk membicarakan apa yang bisa dilakukan, dan dirasakan sepertinya laut memanggil kembali untuk membayar janji kepada sang Baruna. Akhirnya tim kerja dibentuk dan bergerak lagi agar idealisme untuk menolak reklamasi di atas laut terpenuhi. Diputuskan untuk menggelar pertunjukan dengan panggung terapung 22 november, sehari setelah tilem karena prediksi alam biasanya air akan surut dari pukul 16.00 hingga 22.00, dan akan naik lagi setelah itu.
“Panggung mulai kami set Selasa (18/11), melihat kondisi air sampai malam, juga membuat agar panggung ini tidak goyang, karena di Padanggalak ombak lumayan keras. Kesulitannya akan terjadi kalau kondisi air tidak seperti prediksi ilmiah yg dipaparkan. Karenanya persiapan lumayan rumit, tapi kami akan kerja keras supaya bisa terwujud,” jelas Gung Anom sembari berharap acara ini nantinya bisa dinikmati dan dirasakan, terutama perjuangan menolak reklamasi melalui cara seni. *231