
MUSISI muda berbakat dari kota Singaraja, Dwarsa Sentosa kembali menunjukkan gregetnya dalam berkarya. Sebelum unjuk kebolehan di kota Bekasi akhir pekan ini, ia melempar satu amunisi baru, judulnya “Sampai Tua Jadi Gila”.
Sebagaimana dua karya sebelumnya, “Serdadu Hitam” dan “Tambah Sedikit Kuota”, rekaman terbaru Dwarsa kali ini juga tak terlepas dari latar belakang pengalaman, unek-unek juga ‘curahan hati’ sang pencipta. Masih sama pula, temanya bagaimana mengungkapkan kemarahan dalam keindahan.
Selalu ada yang beda dari karya sebelumnya, itu pula dilakukan Dwarsa untuk “Sampai Tua Jadi Gila” yang dirilis 12 Oktober malam di salah satu tempat nongkrong di Singaraja. Selain tetap menggandeng komunitas seni The Reimland untuk branding di atas panggung, kali ini ia juga didukung Jitta Papilaya dan Marco Steffiano, drummer Barasuara. Agar lebih “greget” lagi, “Sampai Tua Jadi Gila” juga dituangkan ke dalam musik video yang apik oleh videographer Joy Sastra Wijaya dari Frameable Films, di bawah arahan Dwarsa Sentosa sendiri.
Dwarsa menjelaskan, lagu “Sampai Tua Jadi Gila” ibaratnya satu rekonstruksi kisah nyata yang pernah dialaminya Oktober setahun silam. Tepat setahun setelah “benalu” merenggut, di mana rumah produksi yang dibangunnya, MarGarani Production nyaris hancur.

“Musik video ini bukan hanya sekadar musik video, namun adegan rekonstruksi yang dibuat sedikit hiperbola untuk mendapatkan kesan tayangan pada layar. Kisah mana divisualkan melalui dua tokoh yang mengalami kemelut saat diadu domba oleh satu tokoh antagonis,” jelasnya.
Dwarsa menambahkan, rilis karyanya sebelum ini pun tak lepas dari rangkaian rekonstruksi yang dimaksudnya. Baginya, menumpahkan amarah ke dalam bentuk karya karena memang tidak ada jalan terbaik untuk marah-marah selain mengkonversinya ke dalam bentuk karya dan berangsur-angsur mengikhlaskannya.
“Juga akan banyak hal positif yang datang jika kita melakukan hal yang positif juga. Dengan peluncuran karya ketiga ini, harusnya ada sedikit harapan untuk memberikan inspirasi kepada kita semua, bahwa sehancur-hancurnya kita dibuat, tetap kita harus mampu bangkit dan mampu memanfaatkan momen-momen rusak tersebut untuk menjadi hal yang indah,” pungkasnya. (231)