Reggae dari Sudut Lain ala Marapu

Marapu2
Personel Marapu minus pemain keyboard, bersama manajer dan produser.

GRUP musik reggae, Marapu, baru saja merampungkan album ke-4 berjudul “Don’t Be Fooled”. Menandai peluncuran album ini, mereka akam tampil khusus di Deus , Café, Canggu, Minggu (8/4) malam. Ada banyak hal menarik dari album yang memuat 13 lagu ini. Selain direkam secara live untuk menghasilkan sound ala rekaman era piringan hitam di tahun 60-an, Marapu membawakan lagu dengan 5 bahasa, mulai dari bahasa Indonesia, Inggris, Bali, Sumba, dan Papua. Lain dari itu, lewat album ini pula mereka ingin menghadirkan lagu reggae dari sudut  lain.

“Kami mencoba menghadirkan roots reggae dan reggae revival yang dikombinasikan dengan budaya lokal. Itu alasan mengapa kami membawakan lagu Papua, lagu Bali Cening Putri Ayu dan lagu Sumba dalam irama reggae. Lagu-lagu ini notasinya asli budaya lokal yang diwariskan oleh  nenek moyang kita,” ujar Yanto Pekabanda,  vokalis Marapu kepada wartawan di Denpasar, Jumat (6/4).

Begitu pula Marapu mencoba menghadirkan reggae dari sudut lain, tidak melulu identik hanya dengan nuansa pantai, party, juga tema cinta bahkan cinta yang universal. Grup yang sudah lima tahun mewarnai perkembangan musik di Bali ini lebih memilih untuk membawakan lagu yang mengangkat isu budaya, sosial, politik, juga kemanusiaan. Sudut lain reggae itu juga ditunjukkan dari nuansa gelap, dominan hitam pada kemasan album yang dirilis dalam format CD audio. Tak ada nuansa warna warni khas rasta umumnya.

Dari 13 lagu di album “Don’t  be Fooled” ada lima lagu lama dari tiga album terdahulu Marapu yang direkam ulang. “Mungkin banyak yang bertanya-tanya, seperti apa tiga album kami sebelumnya, mengapa sepertinya tidak terdengar atau tak begitu dikenal, kami sangat memaklumi. Tiga album sebelumnya yang dikerjakan saat kami masih berada di Jogja memang kami garap dengan penuh keterbatasan, beredarnya juga kebanyakan jual langsung dari tangan ke tangan. Jauh berbeda dengan album ke-4 sekarang yang digarap dengan perencanaan dan manajemen yang lebih baik, juga dukungan kuat pada beberapa segi dari berbagai pihak. Bagi kami 17 tahun yang sudah dilewati Marapu dalam berkarya adalah proses menuju kematangan,” jelas Yanto.

Menurut Arno Mariani, manajer Marapu,  rekaman fisik album “Don’t Be Fooled” memang baru dicetak hanya 1.000 keping, namun tak tertutup kemungkinan nanti akan dicetak lagi jika permintaan masih banyak. “Namun demikian sebetulnya fokus kami adalah penjualan lagu secara digital melalui online store. Hampir semua, sekitar 88 toko musik online akan memasarkan album ini mulai 13 April mendatang. Termasuk di antaranya iTunes, Spotify, Amazon Music, Napster. Satu single berjudul Politicians sudah mulai dijual online sejak 9 Maret lalu. Sedangkan tiga album Marapu terdahulu juga sudah tersedia secara online sejak Oktober tahun lalu,” paparnya.

Sementara itu Wayan Setiawan dari Mina Music Production menambahkan, pihaknya tertarik untuk turut memproduseri Marapu karena dalam pandangannya band ini memiliki potensi yang luar biasa. Mereka sudah membuktikan punya lagu dan kualitas permainan yang sangat mengena di kalangan penikmat musik. “Mereka punya energi tersendiri, dan energi itu tidak bohong, Beberapa kali kami tampilkan mereka di outlet Warung Mina di Legian, banyak yang tertarik untuk datang dan menikmati permainan Marapu. Bahkan pengunjung tak ada yang beranjak sebelum musik selesai. Marapu punya impian yang luar biasa. Kami juga punya impian untuk mencoba sesuatu yang baru. Kami bisa ketemu untuk satu mimpi bersama,” ceritanya.

Marapu adalah band asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dibentuk 1999 dengan “modal nekat” dan memulai kiprahnya di Jogjakarta. Soal nama, personel Marapu merasa sudah terlalu banyak grup menggunakan nama barat. Karena itu mereka memutuskan memakai nama Marapu, yang awalnya dikenal sebagai agama, kepercayaan lokal yang dianut masyarakat pulau Sumba. Hingga saat ini,  Marapu identik dengan adat istiadat, tatanan sosial, filsafat hidup masyarakat Sumba.

Tampil di berbagai acara, mengejar mimpi untuk satu idealisme dalam bermusik, Marapu sempat merilis tiga album rekaman, sebelum akhirnya 2003 memutuskan pindah ke Bali. Kala itu hanya tersisa dua personel yang pindah ke Bali, Yanto (vokal) dan Dondho (bass). Di Bali mereka mulai menjajal berbagai tempat hiburan dan kesempatan pentas lainnya, gonta ganti personel, hingga akhirnya merasa cocok dengan formasi sekarang – Yanto Pekabanda (vokal), Dondho (bass), Micah Johnston (drum), Ryo Santoso (gitar ritem), Novantara Bjs (gitar melodi), dan Domi Kia Beda.

Menurut Yanto, sepanjang perjalanannya, Marapu setidaknya 24 kali ganti personel dan 8 kali ditangani manajer berbeda. Terakhir di Bali mereka ditangani Arno Mariani, yang merasa sangat antusias dengan grup ini. “Mereka memainkan musik reggae yang beda. Mereka punya peluang besar untuk maju dan dikenal tak hanya di Bali dan Indonesia, namun juga hingga ke luar negeri. Kami pernah membawa mereka tur ke Australia dan  Timor Leste,” demikian Arno. (231)

marapu1
Marapu Band bersama manajer dan produser saat press conference di Denpasar, Jumat (6/4)

Marapu3

About the author